Kamis, 19 November 2009

makalah tentang kebudayaan

KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA:
PENATAAN POLA PIKIR

Pendahuluan
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak
pengalaman yang diperoleh bangsa kita tentang kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman acuan bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma-
norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.

Namun kita juga telah melihat bahwa, khususnya dalam lima tahun
terakhir, telah terjadi krisis pemerintahan dan tuntutan reformasi
(tanpa platform yang jelas) yang menimbulkan berbagai
ketidakmenentuan dan kekacauan. Acuan kehidupan bernegara
(governance) dan kerukunan sosial (social harmony) menjadi
berantakan dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social
disobedience). Dari sinilah berawal tindakan-tindakan anarkis,
pelanggaran-pelanggaran moral dan etika, tentu pula tak terkecuali
pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di kala hal ini
berkepanjangan dan tidak jelas kapan saatnya krisis ini akan
berakhir, para pengamat hanya bisa mengatakan bahwa bangsa kita
adalah ?bangsa yang sedang sakit, suatu kesimpulan yang tidak pula
menawarkan solusi.

Timbul pertanyaan: mengapa bangsa kita dicemooh oleh bangsa lain
Mengapa pula ada sejumlah orang Indonesia yang tanpa canggung dan
tanpa merasa risi dengan mudah berkata, Saya malu menjadi orang
Indonesia dan bukannya secara heroik menantang dan mengatakan,Saya
siap untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ini? Mengapa pula
wakil-wakil rakyat dan para pemimpin malahan saling tuding sehingga
menjadi bahan olok-olok orang banyak. Mengapa pula banyak orang,
termasuk kaum intelektual, kemudian menganggap Pancasila harus
disingkirkan sebagai dasar negara? Kaum intelektual yang sama di
masa lalu adalah penatar gigih, bahkan manggala dalam pelaksanaan
Penataran P-4. Pancasila adalah asas bersama bagi bangsa ini (bukan
asas tunggal). Di samping itu, makin banyak orang yang kecewa berat
terhadap, bahkan menolak, perubahan UUD 1945 (lebih dari sekedar
amandemen) sehingga perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan
berbangsa dan bernegara dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh.

Perjalanan panjang hampir enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah
memberikan banyak pengalaman kepada warganegara tentang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Nation and character building sebagai cita-
cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh suatu
strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi dari
dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan sebagai de hoogste politieke
beslissing dan diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD
1945 sebagai hukum dasar negara

Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia: Identitas Nasional
dan Kesadaran Nasional

Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Namun selanjutnya,
kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-
norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya
adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas
teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah
air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling
menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama
warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat
bangsa.

Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi
pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab
dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan
kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana
bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan:. Siapa kita (apa
identitas kita) Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak
bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir
wujud masa depan bangsa dan tanah air kita??

Jawaban terhadap sederet pertanyaan di atas telah dilakukan dalam
berbagai wacana mengenai pembangunan kebudayaan nasional dan
pengembangan kebudayaan nasional. Namun strategi kebudayaan nasional
untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak dikemukakan dan
dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk
dalam kongres-kongres kebudayaan yang lalu.
Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut
kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat
bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo,
Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas
Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam
tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3)
persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan
semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Makalah ini akan membatasi diri pada dua hal pokok yang menurut
hemat penulis? perlu menjadi titik-tolak utama dalam membentuk
kebudayaan nasional, yaitu: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran
nasional. Dalam kaitan ini, Bhineka Tunggal Ika adalah suatu
manifesto kultural (pernyataan das Sollen) dan sekaligus merupakan?
suatu titik-tolak strategi budaya untuk bersatu sebagai satu bangsa.

Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh
bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di
antaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu
kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang
kemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum
nasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan
sistem birokrasi nasional.). Di pihak lain, kesadaran nasional
dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme.

Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan
perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan
martabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban, sebagai upaya
melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan,
keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing.
Secara internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi
untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu
mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi
terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar
dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui
pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan
khususnya eksternal ini merupakan faktor strategis bagi terbentuknya
suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi
sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk
memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.

Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural

Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita
sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan
sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warganegara
Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan
kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa
dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai
kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi,
tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling
menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari.

Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di
Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan
lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang
dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi
pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki
hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa
yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk
memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-
masing sukubangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang
bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri
pluralistik bangsa kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural. Intinya
adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi
berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus
diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka
di tanah asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat
multikultural harus? memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga
dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan
pendayagunaan yang lebih baik.

Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan
dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat
bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat
menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur
kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum profesional
Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan
multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya
suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi,
keanekaragaman.

Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai
potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung
kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat
yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk
mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang
sama-sama merupakan warganegara Indonesia, sebagai bagian dari
bangsa Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari
tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun
tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa
merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan
saling bekerjasama.

Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir

Kita perlu memahami kembali bahwa warga dari bangsa yang pluralistik
ini adalah rakyat yang juga warganegara dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945. Karena itu diperlukan adanya wawasan? dan pemahaman mengenai
kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita juga harus membuka diri untuk memahami Pancasila, sekaligus
bersedia membedakan antara substansi ideal dan kemuliaannya sebagai
dasar peradaban, dengan Pancasila yang pelaksanaannya sengaja
dikemas dan absurd secara politis demi kepentingan memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan, yang telah menyebabkan Pancasila
dikambinghitamkan dan dibenci sebagai penyebab timbulnya
kediktatoran. Sejak mundurnya Presiden Soeharto, di lingkungan
masyarakat awam dan profesional tak jarang terdengar pernyataan
kejenuhan, kebencian atau alergi terhadap perkataan Pancasila.
Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil
pikiran para pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh
Bung Karno pada saat lahirnya pada tanggal 1 Juni 1945, untuk
dijadikan Dasar Negara, sebagai jawaban atas pertanyaan Dr. K.R.T.
Radjiman Wedyodiningrat:Apa dasar negara kita nanti.

Kelima butir Pancasila itu merupakan refleksi buah pikiran yang
telah secara tulus ikhlas dipersiapkan secara serius dan mendalam
oleh para pendiri negara kita menjelang Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dimatangkan (dalam wadah
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
disingkat BPUPKI) untuk menjadi pedoman berperilaku nasional dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar negara itu maka
bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak ela-elo (Sastro
Gending di zaman Sultan Agung yang menggambarkan porak-porandanya
bangsa ini, seakan kehilangan pegangan, jati diri, harga diri dan
percaya diri).

Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita baru-
baru ini, di mana Pancasila tersurat di dalamnya, dinilai tidak
sesuai dengan tujuannya melainkan justru merubah makna yang
terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pada saat generasi penerus
dan cendekiawan kita masa kini belum mampu menyusun suatu? pedoman
acuan lain yang dianggap dapat mengungguli Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 untuk menjaga persatuan bangsa, mensejahterakan
rakyat Indonesia dan menjaga keutuhan tanah air kita, maka pada saat
ini, niat untuk menghapus Pancasila itulah yang harus ditanggalkan
dari mindset kita. Sebaliknya, distorsi terhadap mindset perlu
diluruskan dengan cara memahami Pancasila yang sebenarnya. Hal ini
merupakan suatu tindakan yang dilandasi oleh suatu urgensi untuk
menghindarkan bangsa kita dari ketidakadilan yang menyebabkan
kekacauan, ketidakrukunan, makin luasnya disintegrasi sosial, serta
koyaknya keutuhan negara.

Bukanlah suatu hal yang aneh atau tabu, atau dinilai ketinggalan
zaman bila kita menoleh kembali kepada nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disiapkan oleh para pendiri
negara kita. Hakekat reformasi adalah pembaharuan dan juga back-to-
basics, dalam arti meluruskan yang keliru dan keluar jalur. Kemajuan
peradaban tidak terlepas dari proses pembelajaran makna? sejarah
sebagai acuan untuk membangun masa depan.

Nilai-nilai dalam UUD 1945 menanamkan pentingnya kehidupan yang
cerdas, yang diutarakan dalam kalimat ?mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diartikan sebagai membangun kehidupan yang bermartabat,
tidak rendah diri, dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri.
Terdistorsinya nilai-nilai ini? terlihat dari contoh yang sedang
kita saksikan sekarang ini (dan sebagian dari kita mewajarkannya
pula), yaitu adanya pembodohan sosial di hadapan kita, antara lain
dengan diajukannya pandangan bahwa nation state tidak relevan lagi
di dalam globalisasi, dalam dunia yang borderless. Paham borderless
world ini tentu banyak ditentang oleh negara-negara yang lemah,
namun didukung oleh negara-negara kuat yang memelihara hegemonisme
dan predatorisme. [6] Pelaku dan korban pembodohan sosial ini tak
terkecuali pula sebagian dari kaum intelektual kita, yang sama-sama
termakan oleh pola pikir atau mindset asing yang dengan sengaja
ingin menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi

Strategi Budaya: Mutualisme dan Kerjasama Sinergis

Upaya untuk membentuk suatu mindset kebersamaan dan kerjasama
sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa kekeluargaan
(brotherhood, bukan kinship), perasaan saling memiliki (shared
intrerest dan common property) perlu dikembangkan, baik yang berada
di tingkat keluarga, ketetanggaan, masyarakat luas hingga ke tingkat
negara. Demikian pula halnya, orientasi mutualisme dan kerjasama
sinergis sebagai jiwa dalam UUD 1945 itu harus menjadi titik-tolak
dan landasan bagi penyusunan program-program pembangunan nasional
secara luas. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah sesuatu yang
mustahil untuk dilaksanakan. Perencanaan pembangunan nasional harus
pula memiliki metode dan mekanisme untuk mewujudkan program-program
atau pun proyek-proyek yang memfasilitasi terbentuknya prinsip-
prinsip mutualitas dan kebersamaan sinergis Beberapa contoh akan
dikemukakan di bawah ini.

Di bidang pendidikan nasional, misalnya, penataan pola pikir harus
dilakukan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan
menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan yang
berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam
permusuhan (dimulai dari sistem ranking, pembedaan jenis dan
kualitas sekolah, lengkap dengan istilahnya seperti sekolah unggulan
dan bukan sekolah unggulan, hingga persaingan antar sekolah yang
berwujud tawuran pelajar dan perbuatan negatif lainnya). Persaingan
haruslah sebatas berlomba, bukan eksklusivisme yang mengakibatkan
renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem
pendidikan nasional harus menum buhkan pola kerjasama antar siswa,
misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi "proyek
bersama" siswa dalam pembahasan materi pelajaran, atau pelaksanaan
kegiatan seni-budaya dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah,
menanamkan kesadaran sebagai siswa sekolah Indonesia, di manapun
tempat bersekolahnya.

Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan
hidup (survival) ditentukan oleh pendidikan dan proses pembelajaran
yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas, pendidikan
merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan
identitas nasional dan kesadaran nasional serta memformulasikan
mindset bangsa. Sosialisasi dari platform rnasional akan
memformulasi mindset masyarakat. Adalah suatu kecelakaan besar bahwa
posisi dan peran kebudayaan dalam pembangunan nasional telah
direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan ke
luar Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu kini
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai
lembaga yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, sehingga kebudayaan
tidak tereduksi menjadi sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan
demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh untuk berperan
dan mampu berdialog dengan peradaban.

Di bidang sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan
saling memiliki, suatu hal yang juga penting sebagai suatu proses
alamiah yang telah ikut memberikan isi kepada kesadaran nasional dan
identitas nasional adalah ketika kebersamaan memperoleh esensi
persaudaraan (brotherhood) dan keluarga luas (extended family),
dengan makin meningkatnya perkawinan antarsukubangsa di tengah
masyarakat kita, yang menimbulkan perasaan saling menghargai dan
kebersamaan, meskipun masing-masing pihak tetap memelihara
identitasnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Gudykunst dan Young Yun Kim yang menggambarkan komunikasi yang
mencerminkan mutualisme, perasaan bersama dan sinergi (togetherness)
dalam tulisan mereka, Communicating with Strangers (1997). Dalam
pemahaman prinsip kebersamaan dan kerjasama sinergi ini pula kita
dapat lebih mengamati adanya primordialisme yang memperoleh makna
baru di antara masyarakat kita.

Dengan orientasi kebersamaan dan kerjasama pula, di bidang
perhubungan, perlu digerakkan usaha seluruh maskapai penerbangan
nasional untuk maju bersama demi kemajuan seluruh bangsa. Penggunaan
berbagai jenis pesawat yang mampu menerobos isolasi, menjangkau
pelosok tanah air yang terpencil serta mendekatkan jarak sosial-
politik dan jarak psiko-sosiokultural di dalam jarak mileage fisik.
Demikian pula dengan pembangunan industri pariwisata di berbagai
pelosok tanah air.

Di bidang ekonomi, mutualisme memang dapat lebih nyata dan praktis
dilaksanakan. Baru-baru ini kita telah melihat proses mulai
tumbuhnya kerjasama antar provinsi yang jauh dari pola pikir
persaingan, melainkan dilandasi oleh pola pikir kebersamaan dan
mutualitas, sebagaimana yang ditunjukkan oleh gagasan untuk
membentuk Gerakan Pembangunan Mina Bahari. Penulis menyaksikan
semangat menggebu-gebu dari para camat dan bupati yang mulai
merancang program kerja antar daerah yang termasuk dalam jangkauan
gerakan pembangunan di Teluk Tomini itu. Percikan semangat
kebersamaan itu bahkan juga menjangkau komuniti nelayan Bajo yang
masih hidup dalam kondisi keterbatasan sosial-ekonomi di Kecamatan
Pagimana, Kabupaten Luwuk, Sulawesi Tengah, yang berharap memperoleh
partisipasi pula dalam gerakan pembangunan ini melalui pemanfaatan
potensi budaya mereka sebagai nelayan. Dengan demikian, manfaatnya
tidak saja berupa keuntungan ekonomi yang bersifat regional
melainkan juga nasional. Selain itu proyek ini juga dapat memberikan
kebanggaan daerah dan kebanggaan nasional, perluasan tenaga kerja,
sekaligus meningkatkan harkat ekonomi dan sosial rakyat di daerah-
daerah, termasuk rakyat kecil, yang bersemangat untuk membangun
daerah mereka agar menjadi tuan di negeri sendiri.
Semangat ini telah mulai membentukkan suatu kohesi sosial, yang
makin luas jangkauan teritorialnya, dan akan makin luas pula
dampaknya terhadap penjalinan persatuan nasional. Di samping itu
perlu pula diberikannya peluang yang mendorong kemampuan
entrepreneurial dalam masyarakat.

Di bidang hukum, kasus-kasus penggusuran yang tidak memihak rakyat
dan merupakan kasus-kasus alienasi dan marginalisasi, pelumpuhan dan
pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan hal-hal yang
bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan harus segera
dihentikan. Hal ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945:
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
Penataan pola pikir perlu dilakukan terhadap sistem hukum yang tidak
dilandasi oleh keberpihakan dan perlindungan kepada rakyat, sebagai
perwujudan dari nilai-nilai dalam Preambul UUD 1945 itu.

Berbagai contoh di atas kiranya juga menunjukkan bahwa otonomi
daerah tidak akan berjalan dengan baik jika pembangunan daerah tidak
dilandasi oleh orientasi pola pikir kerjasama. Kebersamaan dan
kerjasama antar Pemda-Pemda di tingkat kabupaten, antar Kabupaten
dan Provinsi, juga harus beriorientasi pada pola pikir membangun
seluruh bangsa Indonesia, bukan sekedar membangun rakyat lokal.
Sulit diperkirakan tentang akan tercapainya keberhasilan otonomi
daerah yang masih dilandasi oleh orientasi pola pikir persaingan
(mengabaikan kerjasama) dan orientasi penguasaan (eksklusivisme
sumber daya alam dan sumber daya manusia) di antara provinsi, hanya
akan mempercepat jatuhnya bangsa lewat otonomi daerah yang tidak
ditunjang oleh sikap mental mutualistik dan kerjasama demi kesatuan
bangsa.

Penutup
Sebagai penutup dapat diulangi di sini bahwa dalam penataan mindset
untuk membentuk kebudayaan nasional Indonesia, makalah ini mengambil
titik-tolak utama sebagai awal strategis: (1) identitas nasional dan
(2) kesadaran nasional
Pertama, rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang
harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat
adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi dan
produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya.
Kedua, tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang
dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan
tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik
dan intelektual kita untuk mentransformasikan kebhinekaan menjadi
ketunggalikaan dalam identitas dan kesadaran nasional.
Ketiga, diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip
mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki
(shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak
sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara
bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan
peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai bangsa.
Keempat, membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah
kepada suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan,
Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita yang tentu jawabannya
adalah menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi
bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah
dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di
negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global
dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia.
Kelima, yang kita hadapi saat ini adalah krisis budaya. Tanpa segera
ditegakkannya upaya membentuk secara tegas identitas nasional dan
kesadaran nasional, maka bangsa ini akan menghadapi kehancuran.


DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on
the Origin and Spread of Nationalism, Wonder: Verso.

Danusiri, Aryo & Wasmi Alhaziri, ed. (2002). Pendidikan Memang
Multikultural: Beberapa Gagasan. Jakarta: SET.

Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur (2003). Hidup Berbangsa dan
Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa
Timur Universitas Surabaya.

Greenfeld, Leah (2001). The Spirit of Capitalism: Nationalism and
Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press

Gudykunst, William B. dan Young Yun Kim (1997). Communicating with
Strangers. Boston: McGraw Hill.

Kompas (2003). ?Presiden Canangkan Gerbang Mina Bahari?, hlm. 11
kol. 1-3, 12 Oktober.

Minggu, 16 Agustus 2009

PROFILE BONDAN PRAKOSO


nama :Bondan pakoso
pangilan: mr B
ttl :18 mei 1984
nma ibu:Lili yulianingsih
nma bpak:Sisco batara
makanan favorite : chicken teriyaki
minuman Favorite: air mineral

bondan prakoso


bondan prakoso adalah idola gwe waktu kecil sampai sekarasng ,waktu dya nyanyi si lumba2 sampai albumnya yang sekarang "unity".sekarang gya dya waktu mbetot bass terkadang serimg gwe ikutin soalnya keren banget